Selamat datang di Blogku...Inspirasi dan Tulisanku...
Dalam blog ini akan aku manfaatkan dalam menginformasikan ilmu...Karena Ilmu bagiku sangat bermmanfaat....
Tidak panjang lebar lagi aku bagi informasi kalian tentang Kebudayaan Berau.. Tentunya Mungkin yang belum tau Berau terletak dimana??
Berau berada di daerah Provinsi Kalimantan Timur. Ok.. sekarang kita simak Kebudayaan Berau.
Berau yang memiliki wilayah seluas 24.201 kilometer persegi dengan ibu kota Tanjung Redeb dan bisa dijangkau dari ibu kota Provinsi Kalimantan Timur Samarinda dengan jalan darat dalam waktu sekitar 12 jam ini,ataupun lewat jalur udara yang kurang lebih 45 menit juga punya wisata kota yang cukup lengkap. Para penggemar peninggalan bersejarah dapat menyusuri masa lalu kota dan kabupaten Berau dengan mengunjungi Keraton dan Museum Sambaliung yang menyimpan jejak-jejak bersejarah peninggalan kerajaan Sambaliung dengan rajanya yang terakhir Sultan M. Aminuddin (1902-1959).
Kenapa aku ambil tentang sejarah Sambaliung, karena mungkin berhubungan dengan sejarah Datokku..Aji Raden Soeprapta dan Kakekku H. M. Noor, Aji Raden Soeprapta (ARS)
1. Kesultanan Sambaliung
Kesultanan Sambaliung sebelumnya bernama Kerajaan Tanjung. Kesultanan ini merupakan kesultanan hasil dari pemecahan Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. Sultan Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddin yang lebih dikenal dengan nama Raja Alam. Raja Alam adalah keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata Kesuma raja Berau pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati.
Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan kadang-kadang menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma.Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. Tanjung Batu Putih kemudian berubah nama menjadi kesultanan Sambaliung.
2. Sejarah Kesultanan Sambaliung
Keraton Sambaliung, yang kini telah beralih fungsi sebagai Museum Keraton Sambaliung, menyimpan berbagai jejak sejarah peninggalan masa lalu. Kesultanan Sambaliung merupakan pecahan dari Kesultanan Berau. Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Berau sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14 dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati, Kecamatan Gunung Tabur.
Aji Raden Suryanata Kesuma, dikenal sebagai seorang raja yang bijak dalam menjalankan pemerintahannya selama 32 tahun sekitar tahun 1400 hingga 1432, ada pula yang menyatakan dari 1377 sampai 1426. Dibawah pemerintahannya, Baddit Dipattung berhasil membawa rakyatnya sejahtera serta menyatukan beberapa wilayah pemukiman yang dikenal oleh masyarakat Berau dengan sebutan "Banua", di antaranya Banua Merancang, Banua Pantai, Banua Kuran, Banua Rantau Buyut dan Banua Rantau Sewakung.
Dalam catatan sejarah, Aji Suryanata Kesuma dikenal sangat berpengaruh dan berwibawa, sehingga dia adalah figur raja yang disegani kawan dan ditakuti lawan. Nama Raja Berau yang pertama ini, kemudian diabadikan menjadi nama Korem 091/Aji Surya Natakesuma yang pertama kali bermarkas di Tarakan pada tahun 1981, dan sekarang bermarkas di Samarinda.
Namun kira-kira ketika sampai pada keturunan ke-13, seperti yang telah dipaparkan diatas Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.
Sultan Raja Alam Alimuddin inilah sultan pertama dari Tanjung yang kemudian bernama kerajaan Sambaliung nama lengkap Raja Alam sendiri ialah Sultan Alumuddin Raja Alam, sedang ayahnya Sultan Amiril Mukminin atau marhum di Rijang (sungai kecil dekat kampung Gurimbang) adalah raja giliran ke IX kerajaan Berau, kakeknya bernama Sultan Hasanuddin Marhum yang menikah dengan Dayang Lama anak dari raja Solok Pilipina Selatan. Gazi Mahyudin atau Sultan Aji Kuning II, sultan pertama dari kerajaan Gunung Tabur sedang kakaknya Raja Tua Si Taddan (Sultan Zainal Abidin II adalah Raja Berau giliran ke X.
Campur tangan colonial terhadap kehidupan keraton makin meluas, sehingga para penasihRakyat at raja-raja tersingkir. Rakyat kehilangan kepemimpinan, sementara penguasaan colonial sangat menghimpit kehidupan mereka. Rakyat ketakutan dan sulit menghadapi penindasan. Ini terjadi sampai abad ke-14.
Walaupun kerajaan terpisah menjadi dua kerajaan, tidak menyurutkan kerajaan Berau untuk tetap melawan penjajahan Belanda. Misalnya, ketika Pemerintah Kolonial Belanda menjalankan politik adu dombanya untuk memecah belah persekutuan Kerajaan Berau yang terdiri dari Kesultanan Gunung Tabur dan Sambaliung. Akhirnya pada tahun 1800 kedua kesultanan tersebut memisahkan diri. Setelah peristiwa tersebut kemudian Belanda mendekati sultan Gunung Tabur, Aji Kuning II (1833-1850), putra sultan Badaruddin. Pemerintah tahu bahwa kedua kerajaan itu tidak terdapat kesatuan pendapat.
Kesultanan Sambaliung yang dipimpin Raja Alam dengan sekutu-kutunya mengerti dengan siasat licik Belanda, karena itu ia mengadakan persiapan dengan memperkokoh persatuan antara rakyatnya dengan suku bangsa Bugis dan orang-orang Solok. Raja Alam beristana di Batu Putih (sekarang Kecamatan Talisayan). Di daerah itu banyak bermukim pejuang-pejuang Bugis yang disebut Belanda sebagai bajak laut. Persekutuan Raja Alam dengan suku Bugis dan Solok semakin erat, kenapa orang orang Bugis dan Solok membantu Sambaliung dalam perang saudara tersebut. Ini karena isteri Raja Alam adalah orang asal Sulawesi Selatan keturunan bangsawan Wajo. Yang memang pada dasarnya tidak menyukai kehadiran Belanda di Tanah Berau
Ada yang mengatakan penyebab terjadinya perang antara Kesultanan Sambaliung dan Belanda ialah dikarenakan ketika Belanda datang untuk melakukan hubungan dagang dengan membeli hasil bumi kerajaan. Pada tahun 1817 Belanda memasuki Sungai Segah dan berlabuh di tengah sungai antara Sungai Segah dan Sungai Kelay, yaitu tempat berdirinya dua kerajaan Berau yang masing masing bernama Kerajaan Gunung Tabur dan Kerajaan Sambaliung.
Kerajaan Gunung Tabur berada di tepi Sungai Segah, waktu itu rajanya Raja Kuning II, sedang Kerajaan Sambaliung berada di tepi Sungai Kelay, dirajai Raja Alam. Walau satu keturunan, kedua kerajaan ini tak pernah akur. Hal inilah yang sangat dikehendaki oleh Belanda. Saat itu hubungan dagang antara Belanda Sambaliung berjalan dengan lancar dan sangat menguntungkan. Berbagai hasil bumi terbaik seperti rotan dan damar dibeli dengan harga yang tinggi. Begitu pula dengan usaha barang barang keramik dari Cina dan Eropa yang dibawa Belanda. Sedang dengan pihak Kerajaan Gunung Tabur, Belanda hanya membeli barang hasil ikutan, itupun dengan harga murah. Alasannya armada mereka terbatas untuk segera membawa barang ke negaranya.
Namun demikian hubungan dengan pihak kerajaan Gunung Tabur berjalan cukup baik dan bersahabat pula. Selain itu berbagai kebutuhan ekonomi kerajaan Gunung Tabur merupakan tempatnya. Pihak Gunung Tabur dan Sambaliung yang tak pernah akur, akhirnya terlibat dalam satu pertikaian berdarah yang membawa mereka saling serang dan membunuh. Melihat keadaan demikian pihak Belanda merasa puas akan keberhasilan mereka melakukan politik adu domba dan pecah belah atas kedua kerajaan tersebut. Saling serang dan saling menghancurkan berjalan selama beberapa bulan dengan korban yang tak sedikit dari kedua belah pihak. Pada suatu ketika pihak Belanda heboh dengan sering terjadinya perampokan dan pembajakan atas kapal kapal dagang mereka di laut Selat Makasar dan Tanjung Mangkaliat.
Namun secara diam-diam pihak Raja Kuning II atau Gunung Tabur memanfaatkan situasi dengan memberi informasi pada Belanda kalau perampokan tersebut dilakukan oleh orang-orang dari pihak Kerajaan Sambaliung. Tentu saja fitnah ini dilengkapi dengan bukti palsu akan keterlibatan Sambaliung. Pihak Belanda bukan tidak tahu kalau hal tersebut adalah cerita bohong dari Raja Kuning II. Kenapa tidak, sebenarnya kapal-kapal dagang Belanda tak pernah dirampok. Perampokan tersebut hanyalah karangan pihak Belanda saja yang ingin mengambil kesempatan pada situasi perang antar kedua kerajaan.
Dengan dalih perampokan kapal dagang tersebut dilakukan oleh pihak Raja Alam Sambaliung, pihak Belanda lalu memberikan bantuan pasukan pada Raja Kuning II Gunung Tabur dan menggempur kerajaan Sambaliung. Pihak Sambaliung dengan gagah berani melakukan perlawanan yang dipimpin oleh Sarif Dakula, menantu Raja Alam dibantu oleh orang-orang Bugis dan Solok.
Baik Raja Alam beserta segenap rakyatnya maupun pejuang-pejuang suku bangsa Bugis dan orang Solok, sudah bertekad bulat untuk tidak menerima bangsa Belanda sebagai “yang dipertuan” di tanah air mereka. Menurut pendirian dan kepercayaan mereka, bangsa Belanda adalah penjajah yang tergolong orang kafir. Selain perlawanan rakyat Nusantara, Belanda juga khawatir terhadap orang-orang Inggis yang bermaksud meluaskan pengaruhnya di Kalimantan Timur seperti James Brooke di Kalimantan Utara dan kemudian oleh Kapten Laut Inggris E. Belcher yang pada tahun 1834 dan 1848. Karena itu Belanda memberikan prioritas pertama untuk menundukkan Sambaliung yang bersekutu dengan pejuang-pejuang Bugis dan Solok.
Raja Alam mempunyai istana di Tanjung dan sebuah lagidi dekat Kampung Bugis di Tanjung Radeb sekarang. Di tempat ini ia dibantu oleh seorang panglima suku bangsa Bugis bernama Panglima Limbuti, keturunan Panglima Li Madu Daeng Pallawa yang mendirikan Kampung Bugis di Tanjung Radeb. Pertahanan yang kuat dibangun dekat laut di Batu Putih, Tanjung Manglihat, tempat gabungan suku bangsa Berau, uku bangsa Bugis, dan Solok pimpinan Sarif Dakula, menantu Raja Alam. Armada Bugis dan Solok inilah yang dianggap berbahaya oleh Belanda.
Untuk menghancurkan armada kesultanan Sambaliung ini, pihak militer Belanda mempersiapkan angkatan lautnya yang sejak bulan April 1834 dengan perlengkapan persenjataan di markas angkatan lautnya di Makasar. Dengan dalih pengaduan Sutan Gunung Tabur Aji Kemuning II (Gazi Mahyudin), bahwa Raja Alam bersekutu dengan bajak laut Bugis yang menganggu ketertiban pelayaran di Berau, Pemerintah Hindia Belanda menyetujui permintaan Sultan Aji Kuning II. Pada bulan September 1834, Belanda mengirim ekspedisi guna menindak Raja Alam. Empat buah kapal perang yaitu Korvet Heldin, brik Syiwa, sekuner Korokodil, dan Kastor seta berpuluh-puluh perahu mendarat dibawah pimpinan Kapten Laut Anemaelt, menyerang pertahanan armada laut Raja Alam di Batu Putih.
Untuk menghadapi serangan Belanda, Raja Alam dengan sekutu-sekutunya dari suku bangsa Bugis dan orang-orang Solok dibawah pimpinan menantunya, Sarif Dakula, membuat kubu-kubu pertahanan, diantara Batu Putih, daerah Tanjung Mangkalihat yang menghadap arah ke laut dan ke darat, dan sebuah benteng di daerah pedalaman sepanjang 40x40 m, yaitu di Sungai Dumaring tidak jauh dari Batu Putih. Di Tanjung yang sekarang bernama Tanjung Radeb, Raja Alam dibantu oleh Panglima Bugis yang bernama Panglima Limbuto, keturunan Pamglima La Madu Daeng Pallawa. Kubu-kubu pertahanan mereka diperkuat dengan meriam-meriam besar dan kecil yang sampai sekarang masih ada di daerah Berau. Senjata api dibeli dari Singapura dengan perantaraan perahu-perahu Bugis.
Dengan perahu-perahu pendaratnya pasukan Belanda mengadakan serangan terhadap pertahanan Raja Alam di Batu Putih dengan dilindungi oleh tembakan meriam dari kapal-kapal perang Belanda. Pejuang-pejuang Sambaliung, Bugis dan Solok mempertahankan atu putih dengan gigih. Karena perlengkaan Belanda sudah dipersiapkan selama enam bulan di Makasar dan pasukannya telah berpengalaman dalam Perang Diponegoro dan Perang Imam Bonjol, maka Raja Alam terpaksa mengundurkan diri ke Tanjung untuk mempertahankan istananya. Ia dibantu oleh Panglima Limboto, putra Hadi, menantunya Sarif Dakula, dan orang-orang Bugis. Mereka bertahan di Sungai Dumaring, daerah Tanjung Mangkalihat.
Raja Alam dapat dikalahkan Belanda dan bertahan di Muara Lasan. Di tempat ini Raja Alam ditangkap Belanda dengan putranya Hadi, yang kemudian menjadi Sultan Hadi menggantikan ayahnya, Raja Alam. Raja Alam dan keluarganya dijadikan sandera oleh Belanda. Pimpinan tentara Belanda, Kapten Anamaelt meminta agar Sarif Dakula dan orang-orang Bugis menghentikan perlawanan dengan jaminan keselamatan Raja Alam dan kelurganya. Untuk itu diminta Sarif Dakula dengan pengikut-pengikutnya datang menghadap di kapal perang Belanda.
Ada dua versi cerita yang berbeda yang mengatakan mengenai Sarif Dakula dan kelurganya datang ke kapal perang Belanda. Cerita yang pertama, ketika Sarif Dakula berunding dengan tentara Belanda. Karena Sarif Dakula tetap tidak mau bekerja sama dengan Belanda, ia ditangkap dan diasingkan ke Makasar akan tetapi Sarif Dakula melakukan perlawanan , hingga akhirnya tewas. Mayatnya dibuang di laut. Melihat peristiwa itu, istrinya, Pangeran Ratu Ammas Mira yang sangat setia pada suaminya, melompat ke laut bersama-sama anaknya yang masih kecil. Akan tetapi ia dan anaknya dapat diselamatkan. Karena Raja Alam dan keluarganya antara lain putranya, Hadi Jalaluddin, Pangeran Ratu Ammas Mira dianggap berbahaya oleh Pemeritah Kolonial Belanda, mereka diasingkan ke Makasar sebagai tawanan negara (staatgevangene). Adapun Sultan Bongkuch, salah seorang putra Raja Alam dapat melepaskan diri.
Versi yang kedua mengatakan bahwa Sarif Dakula datang bersama Raja Alam menghadap Belanda untuk melakukan perundingan, bukan bersama anak dan istrinya. Ketika itu, Raja Alam dan pasukannya akhirnya mundur ke pedalaman. Tetapi dengan liciknya Belanda melakukan penyanderaan pada anak istri Raja Alam dan melakukan penangkapan kepada keluarga para bangsawan yang telah tua-tua. Dengan ancaman pembantaian terhadap para keluarga bangsawan Sambaliung, akhirnya Raja Alam dan menantunya Sarif Dakula mau datang ke Sambaliung untuk melakukan perundingan sebagaimana permintaan pihak Belanda.
Raja Alam dan Sarif Dakula hanya datang berdua tanpa ada yang mengawal. Sedang pasukannya masih menunggu di hutan hutan rimba sungai Kelay. Ternyata Raja Alam dan Sarif Dakula, bukannya diajak berunding. Keduanya ditangkap dan dimasukkan kedalam tahanan Belanda dengan penjagaan ketat berlapis-lapis. Waktu itu tahun 1834 dimana Raja Alam dan menantunya Sarif Dakula oleh pengadilan Belanda diputuskan dibuang ke Makasar. Secara diam diam keduanya lewat tengah malam dibawa dengan sebuah kapal kecil menuju muara dimana telah menunggu sebuah kapal perang yang akan membawa kedua tawanan ini ke Makasar.
Namun belum lagi sampai ke muara, kedua tawanan ini berontak dan melakukan perlawanan pada para pengawal yang membawanya. Dalam perkelahian yang tak seimbang itu, Raja Alam akhirnya dapat dilumpuhkan. Sedang Sarif Dakula menantunya tewas tertembak pasukan yang membawanya. Namun walau demikian, pihak Belanda sempat pula kehilangan tiga nyawa serdadunya. Raja Alam pun terus dibawa dan dibuang ke Makassar Sulawesi Selatan, yang juga merupakan markas besar Belanda untuk Indonesia Tengah dan Timur.
Selama Raja Alam dalam pembuangan di Makasar maka sejak tahun 1834, kerajaan Berau menjadi tidak aman. Pengikut-pengikut Sarif Dakula dan Pangeran Petta melakukan pengacauan di perairan Selat Makasr dan kampung-kampung di daerah Berau. Sungai Ulak dahulu bekas pusat pemerintahan Kerajaan Berau, dirampok oleh suku Bugis dan orang Solok. Kampung Pujut, wilayah Gunung Tabur, diserang suku bangsa Bugis dan Solok. Pemimpin pejuang suku bangsa Bugis ialah Tuassa dan pemimpin bangsa Solok yang mengadakan perlawanan terhadap kerajaan yang diakui Belanda sebagai jajahannya itu ialah Datu Kamsah.
Untuk mengatasai keadaan yang selalu tidak aman itu, Sultan Gunung Taabur meminta bantuan ipar Raja Alam, saudara istrinya yang menjadi pengeran mangkubuni Kerajaan Kutai dan memerintah di Batu Putih. Untuk menentramkan keadaan yang tidak ada kepastian itu, Sultan Gunung Tabur dan Pangeran Mangkubumi bersama-sama mengajukan permohonan kepada gubernur Belanda di Makasar, supaya Raja Alam dengan keluarga serta putra-putri dan cucunya dikembalikan ke Berau.
Menanggapi permohonan ini pihak Belanda lagi-lagi mengambil keuntungan. Dengan dalih keamanan bersama, maka kedua kerajaan tidak dibenarkan menghimpun atau memiliki laskar. Keduanya hanya boleh merekrut penjaga keamanan lingkungan keraton dengan tidak lebih dari lima puluh orang. Selebihnya masalah keamanan wilayah berada di tangan Belanda. Permohonan ini kemudan disetujui oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 15 September 1836. Setahun kemudian, pada 24 Juni 1837, gubernur Belanda mengizinkan Raja Alam beserta kelurganya kembali ke Batu Putih dengan ketentuan Raja Alam harus mengakui kedaulatan Belanda. Raja Alam kemudian memindahkan ibu kota kerajaannya dari Batu Putih ke Tanjung, daerah Kampung Bugis. Antara kedua kerajaan itu yaitu Gunung Tabur dan Sambaliung memang selalu terjadi peperangan. Karena Raja Alam tidak dapat memenuhi perjanjian yang didiktekan Belanda, maka ia harus kembali ke Batu Putih dan meninggal pada 7 Juli 1848. Ia dimakamkan di dekat Sungai Rindang, dekat Batu Putih.
Putranya, Sultan Hadi Jalaluddin yang diangkat Belanda sebagai sultan Salambiung sejak tahun 1844, meninggal pada tahun 1855. Pada akhir pemerintahannya, yang berpengaruh ialah saudaranya, Sultan Asyik Syarafuddin, putra Raja Alam dengan istrinya, putri dari Bugis yang menggantikannya pada bulan April 1850. Raja ini pada tahun 1852 berumur 38 tahun. Ia adalah seorang sultan yang berpengaruh, memerintah dengan tidak ada penguasa (rijkbestierder) di sampingnya. Sultan Bongkoch, putra Raja Alam yang sejak semua tidak dapat ditawan oleh Belanda, tetap tidak bersedia bekerjasama dengan Belanda dan terus berjuang mengadakan pengacauan bersama-sama pejuang Bugis dan Solok di perairan Berau, Laut Sulawesi dan Selat Makasar.
Sampai saat ini, bangunan Keraton Sambaliung masih berdiri kokoh menghadap ke Sungai Kelay di Kecamatan Sambaliung. Sejak dialihfungsikan menjadi Museum, Keraton Sambaliung sering dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai daerah untuk melihat sejumlah koleksi peninggalan sejarah masa lalu. Untuk menghidupkan kembali dan melestarikan nilai-nilai sejarah dan budaya yang tak ternilai harganya tersebut, keraton ini dipimpin oleh Pemangku Adat Keraton Kesultanan Sambaliung yang kini dijabat oleh Datu Fachruddin bin Sultan Muhammad Aminuddin.
3. Peninggalan Kesultanan Sambaliung
Beberapa peninggalan yang cukup unik dan menarik untuk disaksikan, antara lain adalah sebuah tugu prasasti dari kayu ulin yang bertuliskan huruf Arab-Melayu dan dua buah tugu yang berukir aksara asli (lontara) Suku Bugis yang terletak di halaman depan keraton. Lontara Bugis ini menjadi bukti peninggalan dari pengikut Raja Alam yang berasal dari keturunan Bugis-Wajo. Ketiga tugu tersebut berisi aturan-aturan bagi rakyat ketika akan melintasi keraton pada masa lalu. Tugu yang bertuliskan Arab-Melayu berisi pesan bahwa jika Sultan sedang duduk di depan rumah atau di depan lawang sakaping, maka setiap orang harus duduk dulu baru bisa melewatinya.
Sementara itu, dua buah tugu yang berukiran Lontara Bugis tersebut berisi 7 buah pesan, yaitu setiap orang harus duduk terlebih dahulu kemudian meneruskan langkahnya ketika Sultan sedang berada di depan pintu gapura, tidak diperbolehkan berselisih di dalam wilayah istana, tidak diperkenankan tertawa saat melihat istana dan dilarang duduk di jalanan depan istana, tidak boleh melihat-lihat ke dalam istana jika tidak ada keperluan, tidak boleh menutup atau memotong arah jalan perempuan di tengah jalan, seorang laki-laki yang akan menuju ke jalanan tidak boleh langsung memotong arah jalan, dan bagi siapa saja yang mengabaikan aturan-aturan tersebut maka dia dianggap telah meninggalkan peraturan yang ditetapkan oleh Petta Sultan La Mappata(ng)ka Sambaliung.
Koleksi lain dari Keraton Sambaliung yang menarik untuk dilihat adalah seekor buaya raksasa berukuran sekitar 4 meter yang telah diawetkan. Buaya yang telah diawetkan tersebut disimpan dalam akuarium kaca yang terletak di luar bangunan keraton. Namun, asal usul dan keterangan seputar buaya ini tidak disebutkan.
Selain koleksi peninggalan sejarah, masyarakat juga dapat menyaksikan berbagai kegiatan budaya di Keraton Sambaliung, seperti atraksi kesenian berupa Tari Jepen, Mamanda, dan syair-syair. Pada waktu-waktu tertentu, di tempat ini keluarga keraton juga tak jarang menyelenggarakan pesta budaya, seperti perkawinan yang dihiasi dengan pakaian adat dan pelaminan serba warna kuning. Selain itu, keraton ini juga sering digunakan untuk acara bapallas dalam upacara adat melahirkan serta upacara kematian kerabat sultan.
Bangunan keraton yang ada sekarang diperkirakan berdiri sekitar tahun 1881 M. Belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai siapa pendiri keraton yang terletak di tepi Sungai Kelay ini. Sejak terakhir ditempati oleh Sultan ke—8, Muhammad Aminuddin (1902 M- 1959M), Keraton Sambaliung tidak lagi tempati oleh para keturunan dan kerabat Sultan. Kini, bangunan keraton ini telah beralih fungsi menjadi museum yang dikenal dengan Museum Keraton Sambaliung.
Keraton Sambaliung dengan ciri arsitektur China terdiri dari 12 kamar dan 1 (satu) ruang utama di bagian tengah yang berfungsi sebagai tempat pertemuan. Secara umum, bangunan utama digunakan untuk menggelar upacara adat dan pemberian gelar bangsawan kepada para keturunan Sultan. Selain itu, keraton ini juga memiliki 4 buah taman kecil di mana tiga di antaranya berada di teras depan. Pada bagian tengah, kiri, dan kanan halaman keraton juga terdapat taman yang cukup luas dan tertata rapi. Di depan halaman keraton terdapat gapura dengan hiasan lambang Keraton Kesultanan Sambaliung di atasnya.
Pada masa revolusi fisik atau ketika diperintah oleh Sultan Muhammad Aminuddin, Keraton Sambaliung pernah dua kali terancam untuk dihancurkan. Pertama, Tentara Pendudukan Jepang yang menginvasi Indonesia antara tahun 1942-1945 berusaha menghancurkan bangunan keraton dengan cara membakar menggunakan bensin, namun cara ini gagal. Upaya penghancuran keraton yang kedua terjadi pada 23 April 1945 sekitar pukul 13.00 WITA. Kala itu, Belanda yang datang dengan seragam pasukan sekutu membombardir Keraton Sambaliung namun tidak berhasil.
Sumber :
Fidy Finandar dan M. Noor Ars, 1983, Sejarah Perawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperealisme di Kalimantan Timur, : CV. Tumaristis
Prof. Dr. Amsa Bakhtiar, M.A, 2005, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Indonesia
http://fiitrifaholv1992.blogspot.com/2014/02/makalah-kesultanan-sambaliung.html